KISAH
PERJALANAN HIDUP SI CANDRA
Candra seorang anak kecil kurus yang dibesarkan
di sebuah perkampungan yang mayoritas petani. Dia sejak kecil memang sudah tak
mempunyai seorang ayah. Ayahnya telah lama meninggal dunia sejak dia masih
bayi. Dia dibesarkan oleh seorang ibu bersama nenek dan budenya, yang semuanya
janda dan tinggal dalam satu rumah. Candra memiliki dua saudara, laki-laki dan
perempuan. Dengan berbekal sawah peninggalan sang ayah, Candra bersama kakak
tertuanya, sepulang dari sekolah hampir setiap hari diajak ke sawah untuk
dilatih bertani dan mencari rumput untuk lembu yang juga peninggalan almarhum ayahnya.
Sekolah pada saat itu memang tidak menentu. Kadang masuk pagi, kadang masuk
siang. Pakaian yang dikenakan murid-murid pun pakaian alakadarnya. Ada yang
memakai kaos, ada pula yang memakai baju. Semua murid pada zaman itu tidak ada
yang bersepatu. Namun yang mengherankan adalah Candra dan teman-temannya selalu
ceria, mereka serius ketika belajar dan gelak tawa bersama teman-temannya saat
bermain pada jam istirahat. Rata-rata pada jam istirahat mereka pulang sarapan
atau mengambil jajan. Asik sekali rasanya melihat situasi pada saat itu.
Sepulang dari sekolah Candra bersama
teman-temannya secara bergiliran menunggu teman makan siang di rumahnya
masing-masing. Setelah selesai, mereka bergegas mencari rumput untuk hewan
ternaknya. Candra kecil memang kelihatannya berbeda dengan teman-temannya. Dia
selalu membawa buku saku kemanapun dia pergi, termasuk ketika merumput. Dia
selalu memanfaatkan waktu untuk membuka buku saku yang dia bawa ketika ada
kesempatan. Buku saku yang ia bawa kadang kala P4, UUD 1945, GBHN, dan yang
paling sering adalah kamus kecil Bahasa Inggris. Kebiasaan seperti itu terutama
mulai dia lakukan saat dia mulai masuk SMP dan berlanjut sampai dia duduk di
bangku SMA. Dia selalu berfikir “Aku anak janda. Aku gak punya ayah. Ibu yang
selalu mencarikan aku biaya sekolah. Kalau aku gak rajin, jadi apa aku
nantinya”. Motivasi itu yang selalu dia ingat sehingga dia selalu rajin belajar
dan membantu bekerja. Sampai-sampai di setiap sore hari ketika menjelang
maghrib, dia selalu cepat berangkat ke masjid. Tetapi ada hal yang sangat
menarik yaitu dia selalu menulis catatan penting untuk dihafal di bagian tepi
sarung berwarna putih yang ia pakai. Sambil menunggu waktu masuk maghrib, ia
duduk di serambi bersama teman-temannya yang lain. Di saat itulah dia memutar
bagian tepi sarung. Dia membaca dan menghafalkan catatan-catatan itu, sementara
teman-temannya tidak ada yang tahu. Hal seperti itu dia lakukan hampir setiap
sore hari menjelang masuk waktu shalat maghrib.
Candra memang kelihatan paling rajin di
antara teman-teman sekolahnya, baik ketika di SMP maupun di SMA. Maklum, dia
memang sudah dilatih mandiri dan rajin sejak kecil oleh budenya yang selalu
mengawasi dan merawatnya, sedangkan ibu kandungnya sibuk mencari nafkah untuk
anak-anaknya dengan berjualan tikar pandan yang telah dia beli dari orang-orang
sekitar untuk dijual ke pasar Blimbing Kecamatan Brondong. Sesekali Candra
diajak ibunya ke pasar ketika dia masih duduk di bangku MI saat liburan.
Transportasi saat itu memang sulit didapat. Kalaupun ada mobil oplet (mobil
angkutan model kuno)berangkat dari seberang utara bengawan Solo menuju ke pasar
Blimbing yang jauhnya sekitar 15 sampai 17 km. Sebelum itu, dia bersama ibunya
berjalan kaki dari rumah ke tempat pemberangkatan oplet sambil menyebrang naik perahu penyeberangan.
Seiring dengan perjalanan sang waktu,
Candra beranjak menjadi anak dewasa. Begitu pengumuman kelulusan ujian MI
disampaikan oleh Kepala Madrasah yang sekaligus guru tunggal di madrasah
tersebut, Candra sangat gembira dan bahagia karena semua temannya lulus, termasuk dia. Dengan penuh optimis
Canda dan beberapa temanya berencana mendaftar ke SMP terdekat yaitu SMP PGRI
Sungegeneng, desa tetangga. Di sekolah inilah, Candra semakin bersemangat
belajar dan menunjukkan kemampuan yang ada pada dirinya. Dia terus dan terus
belajar. Dia juga memiliki keterampilan tulis menulis bagus. Pada suatu kesempatan
ada lomba desa tingkat kabupaten dimana dilakukan pembenahan di segala bidang,
diantaranya pembuatan data-data statistik desa berupa tripleks milamin.
Mengetahui tulisan Candra bagus, salah seorang guru memilihnya untuk menulis
data itu. Akhirnya, di setiap kesempatan Candra selalu mendapat tugas menulis
letter untuk sepanduk, papan nama sekolah, background pentas, dan lain-lain.
Setiap berangkat sekolah, Candra selalu
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik dan penuh percaya diri. Tidak
ketinggalan sepeda gayung (onthel) yang dia pakai pun tidak luput dari
perhatiannya untuk selalu dia bersihkan dengan minyak goreng supaya terlihat
mengkilat. Sepatu yang dia kenakan juga dia semir dengan memakai minyak koreng.
Maklum saat itu dia belum kenal semir sepatu. Candra saat itu menjadi perhatian
teman-teman sekolahnya karena penampilannya yang selalu rajin. Pada saat itu, memiliki
kesempatan untuk melanjutkan ke SMP adalah suatu hal yang luar biasa karena
belum banyak anak seusianya dapat mengenyam pendidikan setingkat itu. Dengan
berbekal motivasi yang selalu teringang di pikirannya “Anak seorang janda”,
Candra semakin bersemangat untuk tidak mau kalah dengan teman-temannya.
Kemampuan dan kepintaran hasil belajarnya yang keras dia rasakan ketika dia
mulai masuk ke SMA Muhammadiah 3 Parengan Kecamatan Maduran. Sama sekali tidak
terpikir olehnya saat dia melihat pengumuman hasil tes seleksi masuk SMA
tersebut bahwa dia mendapatkan jauara I (peringkat pertama). Dengan demikian
dia mendapat bea siswa gratis SPP selama satu semester karena peringkat pertama
tersebut. Waktu terus berlalu dan Candra selalu mendapat peringkat pertama di
setiap semester sampai lulus dari sekolah tersebut. Jadi, Candra adalah satu-satunya
siswa yang selama di SMA tidak penah membayar SPP karena selalu mendapat Juara
I.
Kebiasaan untuk berpenampilan rajin,
baik cara berpakaian, bersepeda, belajar, dan lain-lain terus berlanjut sampai
saat dia sekolah di SMA. Dia menjadi idola setiap siswa, laki-laki maupun
perempuan, kala itu. Hampir setiap hari saat di kelas, dia selalu dikerumuni
teman-temannya. Bahkan ada teman laki-laki saking kepinginnya dapat menyaingi
Candra, dia rela datang untuk belajar bersama malam hari di rumah Candra,
meskipun rumahnya sangat jauh dari rumah Candra. Maklum, dia anak orang kaya
sehingga sehari-harinya dia selalu memakai sepeda motor, atau kadang mobil.
Rupanya nasib baik tidak selalu menyetai
Candra. Meskipun dia selalu juara I di SMA, ketika mengikuti seleksi masuk
perguruan tinggi negeri, dia tidak lolos. Akhirnya dia mohon kepada orang tua
dan saudara tuanya agar mengijinkan dia untuk dapat melanjutkan kuliah di salah
satu Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya, yaitu Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Awalnya semua keluarga tidak merestui karena tidak ada biaya yang dapat
digunakan. Mereka berfikir apakah keluarga mampu membiayai kuliah sedangkan
yang dimiliki satu-satunya hanyalah seekor lembu yang dahulunya merupakan
peninggalan almarhum ayahnya. Dengan berbagai penjelasan dan bantuan dukungan
dari paman yang tinggal di rumah sebelah, dengan rasa syukur akhirnya keluarga
memberi restu. Dengan ucapan bismillah, keluarga sepakat menjual seekor lembu
yang tinggal satu-satunya untuk biaya masuk kuliah. Saat pertama kali dia
berangkat mendaftar, dia ditemani oleh saudara iparnya ke Surabaya sambil
dibekali dengan sepeda gayung (onthel) untuk kendaraan selama kuliah.
Jurusan yang Candra pilih pada awal dia
mendaftar adalah PMP. Namun setelah dia mengikuti perkuliahan dalam dua pekan,
dia merasa bimbang dengan jurusan yang telah dia pilih. Dia merasa tidak cocok
dengan jurusan itu. Akhirnya dia memutuskan untuk pindah ke jurusan Bahasa
Inggris. Di semester pertama rupanya dia selalu mendapatkan cobaan. Sepeda
gayung merk “Phoenix” yang dia bawa dari rumah tiba-tiba hilang tidak tahu
kemana. Dia laporkan kehilangan itu ke petugas parkir, kemudian dia diberi
saran untuk melaporkan kehilangan tersebut kepada pihak kampus. Alhamdulillah,
akhirnya pihak kampus bersedia memberi ganti meskipun tidak sepadan dengan
barang yang hilang tetapi masih dapat dipergunakan untuk membeli sepeda gayung
bekas. Dari pada setengah-setengah, tidak begitu baik juga tidak terlalu jelek,
sepeda akhirnya dia cat seluruhnya dengan warna kuning, termasuk peleknya,
kecuali ban. Pada suatu hari ketika Candra naik sepeda yang dia cat kuning
tersebut menuju ke kampus, di perjalanan dia berpapasan dengan siswi-siswi yang
baru saja pulang dari SMA, dengan suara cekikikan terdengar celodehan “Ada
burung podang lewat.” Tanpa mempedulikan celotehan gadis-gadis itu, dia terus
saja lewat menuju kampus. Kondisi seperti itu dijalani oleh Candra sampai dia
selesai kuliah sementara teman-teman mahasiwa yang lain hampir semua bersepeda
motor. Jarak tempuh antara kampus dan tempat kos Candra sekitar 9 sampai 10 km.
Candra memang tergolong mahasiswa yang
lumayan pandai diantara teman-temannya. Meskipun dia mahasiswa pindahan jurusan
yang tidak memiliki bekal Bahasa Inggris cukup, dengan semangat yang luar
biasa, akhirnya Candra secara berangsur-angsur dapat bersaing dengan yang lain.
Dia memiliki karakter dan watak pantang menyerah. Karakter tersebut dia miliki
sejak kecil. Dia belajar dan terus belajar supaya memiliki keterampilan
berbahasa Inggris yang baik. Catatan-catatan kuliahnya dia tulis dengan rajin,
sehingga banyak temannya yang selalu mengkopi buku catatannya. Bahkan sering
kali ditemukan cacatan kuliahnya dikopi juga oleh mahasiswa kakak kelasnya.
Candra merasa bangga dengan keadaan seperti itu karena cacatan-catatannya
dimanfaatkan oleh orang lain.
Candra menyadari bahwa biaya perkulihan
itu mahal, sehingga dia berinisiatif untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok
sambil kuliah, membantu meringankan beban orang tua. Alhamdulillah, ada teman
yang membantu mencarikan pekerjaan yaitu jualan koran keliling. Kegiatan jualan
koran dia lakukan mulai jam 10.00 sampai jam 14.30. Sedangkan waktu kuliah
mulai jam 16.00 sampai jam 21.00. Resiko kecelakaan lalulintas seringkali
terjadi ketika berjualan koran maupun pulang pergi kuliah. Candra memang
tergolong anak pemberani. Pada suatu hari saat Candra mengantarkan koran dengan
melajukan sepeda gayungnya sambil berpegangan bagian bak belakang truk yang juga
sama-sama melaju dengan harapan supaya cepat sampai, dengan tanpa dia sadari ada
kubangan yang mengangah di hadapanya. Sepontan dia terpental jatuh bersama
koran yang berserakan. Baju yang dia kenakan compang-camping robek karena
gesekan bebatuan. Untung saja tidak ada luka yang parah.
Pada waktu luang, Candra selalu
memanfaatkan waktu supaya menghasilkan sesuatu. Dengan sedikit bekal
keterampilan menukang, dia manfaatkan waktu senggang dengan membuat perkakas,
seperti buffet, almari, dan lain-lain, sehingga kadang kala dia diminta orang
untuk membuatkan.
Pada semester-semester akhir perkulihan,
Candra memang lebih konsentrasi belajar karena dia ingin sekali menyelesaikan
perkuliahannya dengan cepat. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa. Dia ikuti
setiap materi perkuliahan dengan penuh perhatian. Bahkan teman-temannya
seringkali mengajak belajar bersama. Secara kebetulan Candra mempunyai seorang
teman sekelas, anak seorang dosen. Kebetulan ayahnya adalah dosen pembimbing
skripsi Candra. Dosen tersebut memang sangat perhatian kepada Candra karena
secara kebetulan judul skripsi yang Candra ajukan sangat cocok dengan dosen
tersebut, judulnya adalah “The Term ‘Dancuk’ for Surabaya People, A
Sociolinguistics Review” (Ucapan “Dancuk” pada Masyarakat Surabaya, Sebuah
Ulasan Sosiolinguistik). Dalam kurun waktu yang tidak lama, akhirnya skripsi
dapat diselesaikan tepat waktu. Ternyata skripsi yang telah dia tulis dan
selesaikan mengundang banyak perhatian, termasuk perhatian wartawan Surabaya
Post. Tiga hari setelah wisuda, Surabaya Post memuat ulasan di halaman depannya
bertajuk “ Sapaan Keakrapan Orang Suabaya” dengan memampangkan foto Si Candra.
Candra memang termasuk mahasiswa yang cepat menyelesaikan studinya. Di antara
sekian banyak teman seangkatannya, dia adalah salah satu dari empat mahasiswa
yang dapat mengikuti wisuda bersama mahasiswa kakak kelasnya. Sebuah kebanggaan
untuk orang tua dan keluarganya. Ternyata usaha dan pengorbanan orang tua dan
keluarga tidak sia-sia.
Demikian cerita perjalanan seorang anak
desa yang dengan semangatnya yang luar biasa akhirnya berhasil menyelesaikan
apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita orang tua dan keluarganya. Semoga
tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca dan generasi sesudahnya.
Ditulis
oleh Sarjono (dengan nama samaran Candra Dinata alias John Maneba)
Silahkan kunjungi saya
BalasHapus